<body> johndoe - buletin
Sosialisasi Konversi Minyak Tanah ke Gas Elpiji: Bagai Sumur Kering di Ladang Gersang
oleh dalijo

Cukup besar anggaran negara yang dikeluarkan untuk subsidi energi. Sementara harga minyak mentah dunia terus naik, maka semakin kewalahan pula pemerintah pada akhirnya jika terus memanjakan rakyat dengan subsidi yang cukup besar. Menurut wakil presiden, jika harga minyak mentah bisa terus melambung sampai angka US$100 per barel, berarti subsidi BBM bisa mencapai Rp5000,- per liter. Padahal, konsumsi BBM di negeri ini berada pada angka yang cukup tinggi. Dan tentu saja merupakan tanggung jawab yang cukup berat bagi pemerintah, ketika di satu sisi masih harus memikirkan sektor-sektor lain yang juga masih membutuhkan perhatian lebih---seperti pendidikan misalnya, yang ternyata subsidi anggarannya hanya Rp51,3 trilyun, masih jauh di bawah subsidi energi yang mencapai angka Rp.94,4trilyun .

Akhirnya untuk melakukan penghematan anggaran, pemerintah membuat program konversi minyak tanah ke gas elpiji tahun 2007. Tapi ternyata terjadi kegagalan sosialisi dalam program tersebut. Menurut dirut Pertamina Ari H. Soemarno, sosialisasi program itu sangat sulit karena dua hal(Kompas, 1 September 2007). Pertama tidak mudah mengajak ibu-ibu rumah tangga yang jumlahnya diperkirakan 25 juta orang untuk menggunakan kompor gas. Kedua, konversi energi menyangkut kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Artinya tak mudah mengubah budaya orang yang selama ini memperoleh keuntungan dari hasil penjualan minyak tanah. Karena memang sebenarnya ada permainan-permainan kepentingan di balik subsidi pemerintah untuk minyak tanah. Jika melihat metode yang berlangsung sekarang ini, siapa saja dapat membeli minyak tanah; tidak terkecuali pengusaha-pengusaha besar atau korporasi-korporasi. Sistem distribusi seperti ini jelas sangat rawan penimbunan dan penyelundupan. Ini artinya subsidi yang jumlahnya mencapai triliunan rupiah menguap begitu saja sementara rakyat kecil tetap menderita . Dan beberapa pihak agaknya sudah cukup nyaman dengan situasi macam ini, sehingga menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk mensosialisasikan dan menjalankan program ini.

Sebenarnya titik utama masalah kegagalan sosialisasi tersebut berada pada koordinasi yang tidak jelas pada tubuh pemerintah sendiri. Kesimpangsiuran informasi yang cukup membingungkan otomatis menimbulkan ketidakyakinan rakyat akan program pemerintah ini. Rakyat menjadi bertanya-tanya, sebenarnya ada apa di balik pelaksanaan program ini. Mulai dari masalah tentang tender kompor gas yang dilakukan Kantor Menteri Koperasi dan UKM, terlebih lagi pendanaan dan besar subsidi yang belum jelas sumbernya, makin menimbulkan ketidakyakinan masyarakat akan program ini. Di samping pula, yang justru menjadi masalah utama adalah masyarakat sebenarnya saat itu justru sedang giat memproduksi kompor murah berbahan bakar briket sesuai program pemerintah sebelumnya . Masalah tentang ketidakpastian dan ketidaksiapan infrastruktur LPG, hingga kaburnya kriteria pemilihan lokasi uji coba dan kelompok masyarakat penerima kompor dan tabung gas gratis tentu saja makin melemahkan kepercayaan masyarakat akan sosialisasi program konversi minyak tanah.

Sebagian masyarakat agaknya juga enggan untuk berpindah pada penggunaan kompor gas karena masih ada beberapa ketakutan tentang jaminan keamanan penggunaan kompor gas ini, terlebih setelah ada pula penarikan 11% kompor gas dalam program ini karena banyak kompor yang tidak sesuai standar, dan cacat . Hal tersebut makin melemahkan sosialisasi yang dilakukan pemerintah. Dengan kata lain, sosialisasi yang dilakukan pemerintah tidak diimbangi dengan pelaksanaan program yang terkordinasi, dan rapi, yang diindikasikan dengan banyaknya masalah di sana sini yang justru malah menimbulkan ketidakpercayaan dari masyarakat.

Pemerintah seharusnya memiliki perencanaan komunikasi yang tepat dan terkoordinasi, sehingga sosialisasi bisa cukup meyakinkan masyarakat, dan akhirnya mensukseskan program konversi minyak tanah ke kompor gas ini. Dimulai dari penataan koordinasi yang jelas, supaya tidak saling tuding menuding dan tumpang tindih, seperti yang terjadi selama ini. Ketika isu kompor briket yang digalakkan DPR RI melalui Menko Ekuin Aburizal Bakrie sedang menunggu realisasi, tiba-tiba Wakil Presiden Jusuf Kalla mengumumkan bahwa pemerintah lebih memilih memasyarakatkan elpiji dengan membuat tabung-tabung kecil yang juga akan membagikannya ke masyarakat bawah di perkotaan (Pikiran Rakyat 6 November 2006). Hal macam itu tentu saja menimbulkan kesimpangsiuran informasi dan kebingungan di masyarakat.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah tentang proses eksekusi program yang tertata rapi, dan meminimalisir kesalahan sekecil mungkin. Artinya, hal-hal seperti adanya kompor cacat yang didistribusikan seharusnya tidak pernah terjadi jika masing-masing pihak bertanggung jawab dan fokus pada tugasnya masing-masing. Seteliti mungkin untuk menjalankan apa yang menjadi tanggungjawabnya, sebelum kemudian bersinggungan dengan masyarakat yang notabene sangat sensitif, ketika kesalahan kecil bisa berbuntut pada ketidakpercayaan, hingga kegagalan suatu program.

Selain itu perencanaan komunikasi yang kiranya akan lebih tepat adalah membangun citra kompor gas dan LPG sebagaimana sesuai dengan karakteristik yang diidealkan masyarakat tentang sebuah kompor sebagai bagian dari perputaran ekonomi dan urusan perut suatu rumah tangga. Artinya, bahwa citraan yang terbentuk lebih merupakan gambaran dari apa yang diharapkan audience, dalam hal ini adalah harga operasional yang jauh lebih murah dan hemat, penggunaan yang praktis, dan cepat, serta keamanan penggunaan yang lebih terjamin. Masyarakat akan bisa lebih menerima kampanye macam ini daripada suguhan serupa yang dikemas dalam bentuk isu-isu hemat energi atau penghematan anggaran yang dikeluarkan pemerintah.

Semua proses pembentukan citra tersebut tentu saja dibentuk melalui media-media yang dekat dan dapat diakses dengan cukup intens oleh target audience yang rata rata adalah ibu rumah tangga. Seperti halnya penayangan di stasiun-stasiun televisi pada jam-jam tertentu ketika banyak ibu rumah tangga menonton. Tentu saja kemudian sosialisasi ini sebaiknya didukung oleh tokoh yang umumnya diidolakan ibu-ibu rumah tangga. Dan agar menjadi lebih menarik, dan menggoda, serta memiliki daya persuasif yang lebih besar, bisa juga proses kampanye atau sosialisasi program ini disajikan secara atraktif dan interaktif, kemudian menayangkannya. Seperti strategi yang dilakukan produk krim sabun cuci piring sunlight dengan icon artistnya Krisna Mukti, yang bergerilya dari rumah satu ke rumah lain, dan mengumpulkan massa ibu-ibu rumah tangga untuk mensosialisasikan sunlight dengan cara yang interaktif dan atraktif, untuk kemudian ditayangkan pada TVC. Kampanye macam ini akan terlihat lebih menyenangkan dan persuasif bagi ibu-ibu rumah tangga untuk berpindah dari minyak tanah menuju kompor gas.

Selain itu perencanaan komunikasi ideal yang cukup menunjang untuk mensukseskan sosialisasi berkait konversi minyak tanah ini adalah, dengan menembus sektor-sektor komunitas ibu-ibu rumahtangga. Lebih gamblangnya, adalah sosialisasi melalui media arisan ibu-ibu rumah tangga. Arisan sebagai wahana berkumpulnya ibu-ibu kemudian menjadi media sosialisasi yang cukup tepat, terlebih lagi merujuk pada psikologi manusia, ketika salah satu penyebab munculnya motivasi adalah karena kesepakatan secara kolektif. Dimana motivasi itu sendiri merupakan suatu upaya manusia untuk memuaskan kebutuhanya melalui tercapainya tujuan yang sudah disepakati. Dengan adanya diskusi dan kesepakatan bersama yang didasari pemahaman dari tiap individu untuk beralih pada kompor gas pada sektor mikro macam itu di setiap tempat pelaksanaan, maka otomatis akan sangat menunjang kelancaran pelaksanaan program secara makro.


DAFTAR PUSTAKA

• Kluytmans, Frits. 2006. Perilaku Manusia. Bandung: PT. Refika Aditama
link
link
link
link
link
link
link
link