<body> johndoe - buletin
RITUAL JAMASAN : SEBUAH WARISAN TRADISI BERNILAI BUDAYA TINGGI
oleh dalijo

Jogja, sebagai sebuah kota budaya, sebagai sebuah kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat, tentu tak dapat dipisahkan begitu saja dari akar-akar kearifan lokalnya. Dari segala system kepercayaan yang turun menurun, yang kadangkala masih beraroma feodalisme dengan mitos-mitos serta kepercayaan khas animisme. Masih dapat disaksikan, begitu banyak ritual-ritual yang sampai saat ini masih berlangsung di Jogja. Ritual-ritual yang diyakini memiliki pesan tersendiri sebagai bentuk lain dari perwujudan akan suatu keyakinan atas keberadaan sesuatu yang sifatnya di luar realitas.

Sebut saja salah satu ritual itu adalah ”Jamasan”. Jamasan adalah suatu ritual yang dilakukan setiap bulan Sura (Muharam), tepatnya pada hari Jumat Kliwon, atau Selasa Kliwon pada penanggalan Jawa. Ritual jamasan adalah suatu ritual berupa memandikan benda-benda yang dianggap pusaka oleh pemiliknya.

Masyarakat Jawa mempercayai bahwa benda-benda tertentu memiliki jiwa sama seperti halnya manusia. Benda-benda yang dikeramatkan, dianggap pusaka, memiliki kesaktian, atau bertuah itu kemudian harus dirawat dengan cara dimandikan setiap Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon pada bulan Sura. Umumnya pada masyarakat Jawa, benda-benda yang dikeramatkan tersebut berupa keris, seperangkat gamelan, benda-benda bernilai historis yang memiliki hubungan dengan keraton (sebagai pusat kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat), batu akik, jenglot. Benda-benda semacam itu diyakini sebagai perwujudan dari suatu bentuk jiwa / energi di luar batas nalar manusia. Selain itu pula, kehadiran benda-benda pusaka diyakini bisa berfungsi untuk tolak bala, dan mendatangkan keberuntungan. Namun jika benda-benda tersebut tidak dirawat dengan baik oleh pemiliknya, maka justru bisa berbalik mendatangkan celaka bagi sang pemilik.

Tidak sembarang orang bisa melakukan ritual-ritual jamasan ini. Hanya pemilik benda-benda ”berisi” sakti yang berkesempatan melakukan jamasan. Dan untuk bisa mendapatkan benda-benda semacam itu bukanlah perkara mudah. Terkadang laku tapa / askese yang ekstrim harus dilakukan oleh orang-orang tertentu untuk bisa memperoleh benda pusaka ini. Tak hanya berhenti di situ saja, merawat benda ber”jiwa” ini pun ternyata bukan perkara mudah.

Dalam melakukan ritual jamasan, orang-orang yang terlibat di dalamnya wajib untuk mengenakan pakaian adat Jawa peranakan. Ritual pun hanya bisa dijalankan oleh kaum laki-laki saja. Para orang yang terlibat harus pula mengenakan kain panjang, surjan, dan penutup kepala blangkon. Selain itu pula, air yang digunakan untuk memandikan pusaka pun bukan sembarang air. Campuran-campuran, khususnya wewangian khas dibutuhkan untuk menyiapkan air bagi jamasan ini.

Sampai saat ini bahkan Keraton Yogyakarta pun masih melestarikan tradisi jamasan ini. Tradisi jamasan kraton yang masih diperbolehkan untuk dilihat khalayak ramai adalah jamasan pada kereta-kereta peninggalan raja-raja Mataram terdahulu. Sedang jamasan yang dilakukan untuk benda pusaka di dalam keraton, hingga saat ini masih menjadi misteri, karena sifatnya tertutup dari jangkauan masyarakat awam.

Tapi bukan berarti jamasan hanya berhenti di situ saja. Untuk ritual jamasan memandikan kereta keraton jogja, khalayak awam umumnya turut serta. Dalam hal ini, mereka turut serta untuk berebutan air hasil cucian kereta ini. Tanpa memperdulikan higienis atau tidaknya, masyarakat bahkan rela berdesak-desakan untuk menciduk aliran air bekas cucian kereta di got, atau menunggu tetesan-tetesan air dari rangka kereta yang baru saja dicuci. Masyarakat setempat mempercayai bahwa air bekas jamasan kereta keraton yang ”sakti” ini memiliki kesaktian tersendiri pula, seperti menyuburkan tanah, dan tolak bala.

Di era modern ini, kemudian para ahli mencoba untuk menterjemahkan kesaktian yang dimiliki oleh jamasan ini dengan istilah-istilah semacam radiasi positif, energi positif. Secara rasional, mungkin agak sulit bagi orang untuk menerima ritual ini, dan segala mitos serta misteri di dalamnya sebagai bagian dari realitas. Tapi biarkanlah kemudian kearifan lokal dan segala dinamikanya menjadi suatu kekayaan tersendiri bagi kehidupan peradaban manusia. Dalam hal ini khususnya Jamasan, bagi kekayaan budaya Yogyakarta.